Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

when i rummaged for a certification

KM ITB dan Saya

Fase Tahap Paling Bahagia sudah selesai dan waktu terus bergulir. Sebenarnya saya senang-senang saja menyudahi masa TPB;  menyudahi masa saya menjalin hubungan love-hate  dengan mata kuliah matematika, fisika, dan kimia; tetapi ada hal lain yang membuat saya semakin senang menyudahi masa TPB. Peluang saya untuk berkembang semakin besar. Sebenarnya di tingkat berapa pun, peluang untuk berkembang itu ada. Hanya saja, jika dibandingkan dengan tahun pertama, saya sudah tidak buta lagi dan mungkin lebih mampu memantapkan hati memilih wadah mana untuk berkembang. Seperti yang pernah saya dengar saat Online Onderwijs, "ITB itu seperti pasar malam, wahananya banyak sekali," dan sampai sekarang saya masih meyakini hal tersebut. Saat ini, saat saya menggarap tulisan ini, saya hanyalah anggota biasa dalam Keluarga Mahasiswa ITB alias KM ITB. Partisipasi saya sebatas ikut serta dalam proyek yang tengah diberlangsungkan Kemenkoan Karya Inovasi Kabinet Arunika KM ITB, juga menjadi anggota

Meruak Tanpa Muak

Istilah “Industri 4.0” sudah sangat umum. Semua bermula sejak awal 2018, diikuti dengan sosialisasi dari Kementerian Perindustrian tentang rancangan “Making Indonesia 4.0”. Namun, istilah Society 4.0 ‘Masyarakat 4.0’ tidak sama populernya dengan Industri 4.0. Justru, istilah ‘Masyarakat 5.0’ lebih dahulu terdengar — setidaknya untuk saya — setelah Perdana Menteri Jepang dalam Forum Ekonomi Dunia menyatakan visi mengenai hal tersebut. Akan tetapi, tentu Masyarakat 5.0 tidak akan ada tanpa Masyarakat 4.0, sementara Masyarakat 4.0 tidak akan ada tanpa Masyarakat 3.0, dan begitu seterusnya. Oleh karena itu, mari kita mulai kelas singkat mengenai sejarah masyarakat modern. Masyarakat 1.0 lahir ketika manusia pertama hadir. Kata kuncinya adalah berburu. Kehidupan nomaden demi mempertahankan keberlangsungan hidup itu lama-lama bergeser seiring kemampuan memasak dan melindungi diri meningkat. Muncullah Masyarakat 2.0 yang disebut sebagai era pertanian sekitar 13.000 tahun sebelum Masehi. Jika

Berkaca pada Sister City: Mengembangkan Medan sebagai Kota Agrobisnis dan Agroindustri

Saya masih ingat bagaimana saya turut berbangga saat teman-teman saya sukses unjuk gigi di Tiongkok sebagai perwakilan dari Medan. Saat itu, saya masih belum tahu mengapa penampilan tersebut dilakukan di Chengdu. Saya berpikir, mengapa tidak sekalian saja di Beijing selaku ibukota negara? Barulah akhir-akhir ini saya mengetahui bahwa Kota Chengdu adalah sister city dari Kota Medan. Performa teman-teman saya itu pun dilakukan untuk kegiatan 2016 Chengdu International Sister Cities Youth Music, bukan kegiatan pertukaran pelajar biasa seperti yang saya kira. Saya mulai merasa kepo . Beberapa literatur saya lahap untuk menemukan definisi bahwa sister city ‘kota kembar’ adalah konsep penggandengan dua kota untuk menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antarpenduduk. Umumnya, kota tersebut terletak di negara yang berbeda. Salah satu contohnya adalah Medan dan Chengdu. Saya semakin kepo dan mencoba makan lebih banyak lagi. Lantas saya menyadari bahwa sister city ini tidak hanya bisa di