- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Tulisan berikut ditujukan untuk mata kuliah KU2061-19 Agama dan Etika Islam Zahra Annisa Fitri (15419031).
[1]
a. Kedudukan akhlak bagi manusia diletakkan Islam sebagai misi yang amat penting karena ruang lingkup Islam tidak bisa lepas dari tiga komponeen, yaitu akidah, syariat, dan akhlak. Selain itu, salah satu tujuan Rasulullah diutus ke bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia dengan adanya ajaran Islam dan menjadi suri tauladan dengan itu sebagaimana Q.S Al-Ahzab:21 yang berarti, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah,” dan H.R. Muslim di mana Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Akhlak merupakan sikap dari setiap manusia yang dilakukan demi kesempurnaan akidah dan syariat atau ibadahnya. Di dalam al-Qur’an, terdapat ayat-ayat yang mengandung nilai akhlak, bahkan secara umum al-Qur’an sendiri merupakan akhlak. Misalnya, dalam Q.S. al-Baqarah:83 disebutkan, “Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,” Cara efektif menumbuhkan akhlak di antaranya adalah dengan mengokohkan keimanan dan beribadah kepada Allah, menanamkan ketakwaan dan memperbanyak zikrullah, menanamkan keikhlasan dalam semua perbuatan, zuhud dan selalu mengingat akhirat, serta mencintai ilmu dan mempelajarinya;
b. Makna akhlak kepada Allah, yaitu ridha
terhadap hukum-Nya baik secara syar’i maupun secara takdir. Akhlak kepada
Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan
oleh manusia sebagai makhluk, kepada Allah sebagai khaliq. Bentuk akhlak
terhadap Allah di antaranya adalah menaati segala perintah-Nya, beribadah
kepada-Nya, berzikir kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, bertawakal, bertawadhu,
serta ridha terhadap ketentuannya. Hal ini sesuai dengan Q.S. an-Nisa:59 yang
berarti, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kamu,” Selain itu, seharusnya seorang
manusia berakhlak kepada sesamanya menurut ajaran Islam dengan menahan diri
untuk tidak mengganggu (menyakiti), suka memberi, dan bermuka manis. Contoh
bentuk akhlak yang baik kepada sesama manusia adalah dengan berprasangka baik,
saling menghargai atau ber-tasammu, serta saling menolong atau ber-ta’awun
sebagaimana dalam Q.S. al-Ma’idah:2 yang artinya, “… dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam
mengerjakan dosa dan permusuhan …”
[2]
a. Terdapat 5 hukum nikah. Hukum-hukum
menikah secara rinci, yaitu:
1) Wajib. Hukum menikah menjadi wajib bagi orang yang
secara jasmaninya sudah layak untuk menikah, secara rohaninya sudah dewasa dan
matang, serta memiliki biaya untuk menikah dan menghidupi keluarganya. Bila ia
tidak menikah dikhawatirkan terjerumus pada perbuatan zina;
2) Sunnah. Jumhur ulama sepakat bahwa hukum asal
pernikahan adalah sunah dengan dalil Q.S. an-Nur:32 yang berarti, “Dan
nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan, Jika mereka miskin Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya, dan Allah Maha luas (pemberiannya), Maha Mengetahui,” serta
berdasarkan H.R. Bukhari bahwa Rasulullah bersabda, “Wahai para pemuda,
siapa dari kamu yang sudah mempunyai kemampuan untuk menikah, maka menikahlah,
karena menikah itu lebih memelihara pandangan mata dan lebih mengendalikan hawa
nafsu. siapa yang belum memiliki kemampuan, hendaklah ia berpuasa, karena puasa
merupakan penjagaan baginya.” Nikah sunah bagi orang yang telah mempunyai
kemauan dan kemampuan untuk membangun rumah tangga, tetapi jika tidak
melaksanakannya juga tidak dikhawatirkan akan berbuat zina;
3) Mubah. Nikah mubah adalah pernikahan bagi mereka
yang punya kemampuan dan kemauan untuk melakukannya, tetapi jika tidak
melakukannya tidak dikhawatirkan akan berbuat zina dan apabila melakukannya
juga tidak akan menelantarkan istri;
4) Makruh. Nikah makruh adalah ketika seorang
laki-laki yang mempunyai kemauan untuk melakukannya juga mempunyai kemampuan
untuk menahan diri dari perbuatan zina sehingga tidak memungkinkan tergelincir
untuk berbuat zina jika sekiranya tidak nikah. Namun, orang ini tidak mempunyai
keinginan untuk dapat memenuhi kewajiban sebagai suami istri yang baik; dan
5) Haram. Nikah haram bagi mereka yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan untuk membangun rumah tangga dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban selama berumah tangga, sehingga apabila dia
menikah akan menelantarkan istrinya dan istrinya atau bahkan hanya menyakiti
istrinya.
Untuk pelajar yang masih bergantung
kepada orang tua dan (rata-rata) belum memiliki penghasilan sendiri, hukumnya
menikah adalah makruh atau haram karena belum dapat memenuhi
kewajiban sebagai suami, yaitu memberikan nafkah, dan dikhawatirkan hal ini
berdampak pada keretakan rumah tangga karena memang belum siap. Tidak bisa
dinyatakan mubah, sunnah, apalagi wajib karena pelajar belum memiliki
penghasilan sendiri sehingga belum mampu memberikan nafkah. Namun, jika pelajar
tersebut telah bertekad dan berusaha untuk memiliki penghasilan sendiri—hanya
saja masih belum mampu dan pemberian orang tua berupa bantuan—bisa saja menjadi
mubah, sunnah, atau wajib, tergantung pelajar tersebut apakah bisa menahan diri
dari zina serta apakah telah siap secara pengetahuan dan psikologis dalam
membina rumah tangga dan memenuhi kewajiban sebagai suami;
b. Tiga jenis pernikahan yang dilarang
dalam syariat Islam adalah sebagai berikut:
1) Nikah mut’ah. Nikah mut’ah ialah nikah yang
dilakukan oleh seseorang dengan tujuan melampiaskan hawa nafsu dan
bersenang-senang untuk sementara waktu. Awalnya, nikah jenis ini diperbolehkan,
tetapi kemudian dilarang oleh Rasulullah sesuai H.R. Muslim bahwa dari Salah
bin Al Akwa ia berkata, “Pernah Rasulullah SAW. membolehkan perkawinan
mut’ah pada hari peperangan Authas selama tiga hari. Kemudian sesudah itu ia
dilarang.”;
2) Nikah syighar, yaitu ketika seorang perempuan
yang dinikahkan walinya dengan laki-laki lain tanpa mahar dengan perjanjian
bahwa laki-laki itu akan menikahkan wali perempuan tersebut dengan wanita yang
berada di bawah perwaliannya. Pelarangan ini sesuai dengan hadis, “Tidak ada
nikah syighar dalam Islam.” (H.R. Muslim); dan
3) Nikah tahlil, yaitu ketika seorang suami
menthalaq istrinya yang sudah dia jima' agar bisa dinikahi lagi oleh suami
pertamanya yang pernah menjatuhkan thalaq tiga (thalaq bain) kepadanya. Nikah
tahlil merupakan bentuk kerja sama negatif antara suami pertama dan kedua.
Nikah tahlil ini masuk dalam kategori nikah dalam waktu tertentu yang terlarang
sebagaimana nikah mut’ah. Tentang pengharaman nikah tahlil, Rasulullah Saw
telah menegaskan dalam banyak sabda beliau, di antaranya hadis yang
diriwayatkan sahabat Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata: "Rasulullah telah
mengutuki orang laki-laki yang menghalalkan dan yang dihalalkan." (HR.
at-Tirmizi dan Nasa’i).
[3]
a. Terdapat beberapa pendapat terkait konsep
negara yang dicita-citakan Islam, khususnya terkait negara demokrasi. Ada yang
menolak seluruh proses demokrasi, ada yang menolak proses demokrasi tetapi
menerima hasil demokrasi, dan ada yang menerima seluruh demokrasi. Pada
akhirnya, Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana konsep
dan bentuk negara yang dikehendaki, tetapi setidaknya terdapat prinsip dasar
dari negara yang dicta-citakan Islam, yaitu keadilan sebagaimana
terdapat dalam Q.S. al-Maidah:8 yang berarti, “Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”; musyawarah
sebagaimana terdapat dalam Q.S. asy-Syura’: 38 yang berarti, “Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka,”; menegakkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran sebagaimana terdapat dalam Q.S. Ali
Imran:110 yang berarti, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik,”; perdamaian dan persaudaraan sebagaimana
terdapat dalam Q.S. Al-Hujarat:10 yang berarti, “Orang-orang beriman itu
Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat,";
keamanan sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Baqarah:126 yang berati, “Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini,
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah
berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara,
kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali,”;
dan persamaan sebagaimana terdapat dalam Q.S. an-Nahl:97 yang berarti, “Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya
akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan,” serta Q.S. al-Mu’min:40 yang berarti, “Barangsiapa
mengerjakan perbuatan jahat, Maka Dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding
dengan kejahatan itu. dan Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik
laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam Keadaan beriman, Maka mereka akan
masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” Terdapat
setidaknya enam irisan demokrasi dengan syariat Islam, yaitu (1)
pemilihan pemimpin dengan pemilu oleh masyarakat; (2) penolakan seluruh bentuk
pemerintahan otoriter, tirani, atau rasis, dan teokrasi (Islam bukanlah agama
kependetaan, dan tidak ada pula pendeta-pendeta agama, karena yang ada hanyalah
para ulama dan ahli fiqih); (3) pembolehan multipartai karena dalam Islam,
keberagaman partai diakui; (4) pengakuan kepemilikan pribadi sesuai syura; (5)
pemberian kebebasan publik; dan (6) pemilihan wakil-wakil rakyat untuk
merepresentasikan aspirasi mereka;
b. Secara normatif, sepatutnya kita
berakhlak kepada pemimpin dengan mendengarkan dan taat kepada pemimpin,
menghormati dan memuliakannya, mendoakannya, membantunya, serta menasihati dan
meluruskan pemimpin dengan rahasia. Cara menyampaikan kritik kepadanya jika
kebijakannya dinilai tidak adil dan merugikan rakyat, yaitu sebagaimana H.R.
Ahmad dan H.R. ath-Thabrani bahwasanya Rasulullah bersabda tentang cara
menasihati pemimpin, yaitu barangsiapa yang ingin menasejati pemimpin
maka janganlah ia memulai dengan terang-terangan, namun hendaknya ia ambil
tangannya, kemudian bicara empat mata. Jika diterima maka itulah
(yang diharapkan), jika tidak maka ia telah melaksanakan kewajibannya. Nasihat
kepada pemimpin juga hendaknya tidak diceritakan kepada khalayak karena itu
adalah ciri-ciri riya dan lemahnya iman, menurut A-Riyadhun Nadhirah.
[4]
a. Penguasaan IPTEKS sangat penting
dalam membangun suatu peradaban yang unggul karena ilmu akan memperluas wawasan
dan sudut pandang
sehingga tantangan-tantangan dalam peradaban dapat diatasi dan diberi solusi
sehingga peradaban yang lebih unggul dapat lahir. Itulah mengapa ilmu sangat
dihargai dalam Islam, bahkan posisi orang berilmu lebih tinggi beberapa derajat
sebagai Q.S. al-Mujadalah:11 yang berarti, “Wahai orang-orang yang beriman!
Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam
majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah,
niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa
yang kamu kerjakan.” Selain itu, kata ilmu juga terulang hingga 854 kali
dalam al-Qur’an. Menuntut ilmu juga merupakan kewajiban sebagaimana hadis
riwayat Ibnu Majah bahwa Rasulullah bersabda, “Menuntut ilmu adalah
kewajiban bagi setiap individu muslim.” IPTEKS termasuk bagian dari ilmu.
Oleh karena itu, mempelajari IPTEKS bisa bernilai ibadah sebagaimana
mempelajari ilmu-ilmu keislaman murni karena ilmu-ilmu tersebut dapat langsung
diterapkan untuk membangun lingkungan, bahkan negara yang lebih baik.
Misalnya, ilmu kedokteran dimanfaatkan untuk menyembuhkan masyarakat yang
sakit, ilmu perencanaan wilayah dan kota dimanfaatkan untuk merancang kebijakan
yang tepat bagi kelangsungan kota yang baik yang melestarikan alam, dan
sebagainya. Namun, perlu diingat bahwa para pelajar harus memahami pula ilmu
keislaman murni karena pada dasarnya, semua ilmu yang tidak di dasari pemahaman
agama akan sia-sia dan berpotensi untuk disalahgunakan. Kemudian, ilmu IPTEKS
bersifat fardhu kifayah, artinya menjadi wajib jika belum ada yang mempelajari
sama sekali dan gugur jika sudah terpenuhi oleh muslim yang lain. Akan tetapi,
adakalanya ilmu IPTEKS tidak bisa hanya dipelajari oleh sedikit orang sehingga
mempelajari IPTEKS tetap relevan untuk dijadikan ibadah;
b. Secara general, cara membangkitkan
kembali peradaban Islam, termasuk dalam konteks Indonesia sebagai negara muslim
terbesar di dunia adalah memperkuat keimanan melalui pendidikan Islam
terlebih dahulu, kemudian meningkatkan pendidikan di bidang lain seperti IPTEKS
beserta implementasinya karena teori saja tidak cukup.
[5]
a. Terdapat ragam pendapat ulama
mengenai apakah bunga bank itu termasuk riba atau bukan. Sebagian ulama
menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba sehingga hukumnya haram. Pendapat ini
juga merupakan pendapat forum ulama Islam yang meliputi Majelis Ulama Indonesia
yang menganggap praktik bunga bank sama dengan riba karena sama-sama
bermakna tambahan atau berlebihan. Dalil yang mengharamkan riba (dan bunga
bank) adalah Q.S. al-Baqarah:275 yang berarti, “Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,” sementara hadisnya
diriwayatkan oleh Muslim yang menyatakan Rasulullah SAW melaknat pemakan
riba yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda: mereka
semua sama. Namun, terdapat perbedaan antara riba dan bunga bank, riba
sistemnya menggandakan untuk pribadi alias rentenir, sedangkan bunga bank
sistemnya untuk membantu masyarakat dengan kuntungan dibagi hasil kepada
nasabah dan legal menurut hukum. Hal ini yang menyebabkan sebagian ulama
kontemporer lainnya bunga bank hukumnya boleh. Hal ini didasarkan pada Q.S.
an-Nisa:29 yang berarti, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Pada ayat di
atas, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti
mencuri, menggasab, dan dengan cara riba. Sebaliknya, Allah menghalalkan hal
itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha.
Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan
besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank, dibenarkan dalam
Islam. Ada pun sebagian lainnya mengatakan pendapat di tengah-tengah, yaitu
hukum bunga bank adalah syubhat;
b. Pola pinjam meminjam yang sesuai
dengan syariat Islam adalah tidak mendatangkan keuntungan bagi peminjam atau
riba. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah bahwa Ibnul
Mundzir rahimahullah berkata, "Para ulama sepakat bahwa jika orang yang
memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan
tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka mengambil
tambahan tersebut adalah riba. Namun, jika meminjamkan begitu saja tanpa ada
syarat di awal (syarat penambahan, pen.), lalu dilunasi dengan yang lebih baik,
yakni dilunasi dengan jumlah berlebih atau dengan sifat yang lebih baik, maka
itu boleh, dengan ridha keduanya." Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, “Ingatlah sebaik-baik orang
adalah yang baik dalam melunasi utangnya.”
c. Ya, pola kemitraan mudharabah dan
musyarakah relevan
dengan kebutuhan perniagaan umat dewasa ini karena tidak dapat dipungkiri
dibutuhkan kerja sama dalam sebuah usaha perniagaan. Adakalanya satu pihak
memiliki kemampuan tertentu, misalnya tenaga, tetapi tidak memiliki kemampuan
lain, misalnya modal, demikian pula sebaliknya. Umat dapat saling melengkapi
dengan adanya pola kemitraan seperti mudharabah dan musyarakah. Implementasi
dari kedua pola tersebut adalah sebagai berikut:
1) Mudharabah hukumnya boleh didasarkan
pada sejumlah dalil, seperti Q.S. al-Muzzammil:20 yang berarti, “Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang
lain lagi yang berperang di jalan Allah,”; Q.S. al-Ma’idah:1 yang berarti,
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…”; dan Q.S.
al-Baqarah:283 yang berarti, “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya.” Ada pun berdasarkan hadis, mudharabah
didasarkan pada H.R. al-Baihaqi yang menyatakan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma
meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika
menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib
(pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta
tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola)
harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu
didengar Rasulullah, beliau membenarkannya. Contoh implementasi dari
mudharabah adalah investasi dengan modal 100% dari shahibul maal.
Contoh penerapannya, pemilik modal atau shahibul maal membuat akad mudharabah
dengan mudharib antara modal usaha Rp50.000.000,00 dan kesepakatan nisbah bagi
hasil di antara keduanya sebesar 50:50 dalam jangka waktu 6 bulan. Kemudian,
mudharib antara membuat perjanjian dengan mudharib akhir yang akan mengelola
usaha kue, misalnya, dengan bagi hasil 40:60 dan jangka waktu 6 bulan. Pada
akhir masa akad mudharabah atau setelah 6 bulan, jika keuntungan mudharib akhir
adalah Rp30.000.000,00, maka bagian keuntungan mudharib antara adalah 40% dari itu,
yaitu Rp12.000.00,00. Karena terdapat perjanjian awal dengan pemilik modal,
dalam Rp12.000.000,00 terdapat Rp6.000.000,00 milik pemilik modal;
2) Implementasi musyarakah berlandaskan dalil dalam Q.S. Shaad:24 yang berarti, “Dan, sesungguhnya kabanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,” dan H.R. Abu Daud No.2936 yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfiman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya,” Contoh implementasi musyarakah adalah transaksi KPR bank syariah. Akadnya merupakan contoh akad musyarakah menurun karena porsi nisbahnya tidak tetap selama masa kontrak kerja sama. Contoh lainnya adalah usaha restoran dengan modal Rp100.000.000,00 dari pemilik restoran, kemudian dia memperbesar usahanya dengan dana tambahan dari pihak lain sebesar Rp100.000.000,00 sehingga terdapat dua sumber modal di situ, tetapi karena hanya dikelola oleh pemilih restoran, nisbah bagi hasilnya adalah 75% untuk pengelola dan 25% untuk pemberi dana tambahan.
Komentar
Posting Komentar