- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Tulisan berikut ditujukan untuk mata kuliah KU2061-19 Agama dan Etika Islam Zahra Annisa Fitri (15419031).
[01]
a. Berikut adalah beberapa karakteristik inti ajaran Islam yang membuatnya tetap relevan kapan pun dan di mana pun (shalih li-kulli zaman wa makan):
1. Haq (benar). Semua aturan Allah pasti benar
sehingga kita tidak boleh ragu. Allah sebagai pencipta agama Islam adalah Tuhan
yang menciptakan segenap makhluk termasuk manusia. Oleh karena itu, pasti
Allah-lah yang paling mengetahui bagaimana cara mengurus manusia. Hal ini
selaras dengan Q.S. al-Baqarah/2:147 yang berati, “Kebenaran itu dari Tuhanmu,
sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu,” serta Q.S.
al-Fathir/35:31 yang berarti, “Dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu yaitu
al-Qur’an itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya
sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengatahui lagi Maha Melihat (keadaan)
hamba-hamba-Nya.”
2. La
haraj (tidak menyulitkan. Tidak ada satu sisi ajaran Islam pun yang berada
di luar kemampuan manusia. Hal ini selaras dengan Q.S. al-Hajj/22:78 yang
berarti, “Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan.”
3. Rahmatan
lil a’alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam). Islam bersifat universal.
Semua hukum dan tata cara ibadah berlaku di seluruh dunia tanpa ada
diskriminasi. Penerapannya juga akan memberikan rahmat dan kebaikan, bahkan
kepada orang-orang selain muslim. Hal ini selaras dengan Q.S. al-Anbiya/21:107
yang berarti, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi segenap alam.”
4. Tawazun,
yaitu ada keseimbangan antara akhlak kepada Allah, diri sendiri, kepada sesama
manusia dan kepada alam sekitar. Ada keseimbangan antara pemenuhan kepentingan
pribadi dan pemenuhan kepentingan orang lain, antara pemenuhan kebahagiaan
temporal di dunia dan kebahagiaan absolut di akhirat, dan hal ini selaras
dengan firman Allah dalam Q.S. al-Qashash/28:77 yang artinya, “Dan carilah pada
apa yang telah dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) di negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kebahagiaan) dunia.”
b. Islam bersifat kaffah alias lengkap, komprehensif, holistik, dan integratif. Islam mengatur semua sisi kehidupan manusia. Tidak ada aspek kehidupan yang tidak menjadi ruang lingkup Islam. baik akidah dan teologi, akhlak, ekonomi, politik dan pemerintahan, sosial budaya, HAM, hukum, gizi, lingkungan hidup, hingga pengembangan sains. Dalam penerapannya pun, aturan Islam harus dilakukan secara lengkap, tidak boleh menerima sebagian dan menolak sebagian. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Baqarah/2:208 yang berarti, ““Wahai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah.” Ada pun berikut adalah bagan yang menggambarkan Islam kaffah. Semua sektor kehidupan, baik yang menyangkut keyakinan, hukum syariah, hingga hubungan dengan pihak lain (kepada Allah, kepada manusia, kepada alam), diatur dalam Islam.
[02]
a. Hakikat
manusia adalah sebagai ‘abid dan khalifatullah. ‘Abid
adalah hamba Allah. Sementara itu, khalifatullah adalah perwakilan Allah
atau penguasa pengganti, khususnya dalam mengelola Bumi, sesuai firman Allah
dalam Q.S. al-Ahzab/33:72 yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat (menjadi khalifah di muka Bumi) kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.” Ada pun langkah yang
harus dilakukan agar kedudukan dan peran tersebut tercapai dengan sempurna
adalah:
1. Sebagai
hamba Allah, kita mestinya selalu siap melayani Allah dan beribadah hanya
kepada Allah;
2. Sebagai wakil Allah, khususnya di
muka Bumi, kita harus memberikan manfaat bagi orang lain dan tidak boleh
bertindak sembarangan.
b. Sebagai
khalifatullah yang memiliki tanggung jawab sosial dan kebangsaan, saya
ikut berperan dalam menjaga TAP MPRS No. 25 tentang pembubaran PKI di era
disrupsi ini dengan menjadi seorang muslim dan memahami Islam sebaik-baiknya.
Saya menolak percaya pada ideologi lain, terutama yang bertentangan dengan
Islam, seperti komunisme. Hal tersebut dapat diwujudkan pula dalam ranah akhlak
dengan menerapkan perilaku yang baik sebagaimana diajarkan Islam, bukan perilaku
seperti modernisme atau kebebasan berekspresi yang bisa jadi maslahatnya lebih
banyak. Secara khusus terkait komunisme sendiri, yang mendukung semua orang
hidup dalam keseimbangan sosial tanpa perbedaan kelas, struktur, keluarga,
properti, bahkan agama, saya tidak setuju karena Islam sendiri mengakui dan
menghargai hak milik pribadi. Hal ini disiratkan dalam Q.S. an-Nisaa/4:32 yang
melarang orang iri hati pemberian Allah kepada orang lain yang lebih banyak
dari pemberian Allah kepada dirinya sebab, masing-masing orang, laki maupun
perempuan, ada bagiannya dari apa yang diusahakannya. Sementara itu, menurut
perspektif Pemerintah, kondisi kekinian bangsa Indonesia sudah jauh dari yang
“semestinya” sehingga diperlukan campur tangan negara untuk memelopori
mengimplementasikan ideologi Pancasila sesuai tantangan zaman masa kini. Namun,
menurut perspektif ormas, khususnya ormas Islam, RUU HIP memungkinkan kembali
hadirnya komunisme, menyebut ketuhanan yang berkebudayaan yang terkesan tidak
sesuai karena nilai ilahiyah identik dengan sifat sakral sementara nilai
kebudayaan identik dengan sifat relatif, serta bisa jadi terlalu menekankan
pada sosial/politik/gotong royong padahal banyak hal yang harus dijiwai
Pancasila, misalnya aspek keagamaan. Ekstremnya, ada celah NKRI dapat menjadi
negara sekuler yang tidak mengenal atau tidak mementingkan tuhan. Dengan
demikian, pandangan saya tentang RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) adalah
tidak setuju karena saya merasa yang salah saat ini bukan lagi pada
konstitusinya, tetapi bagaimana implementasinya oleh masyarakat. Alih-alih
mengubah haluan ideologi Pancasila, lebih baik bertindak konkret memperbaiki
diri agar sesuai dengan ideologi Pancasila seharusnya, yang mana pasal
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan bagi pasal-pasal lainnya.
[03]
a. Al-Qur’an adalah wahyu. Namun,
banyak orang yang menentang kebenaran al-Qur’an sehingga al-Qur’an menawarkan
tantangan kepada kafir Quraisy untuk membuat permisalan serupa, sebagaimana
Q.S. al-Baqarah/2:23 yang berarti, “Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang
Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal
dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar.” Namun, mereka tidak dapat menyanggupi tantangan tersebut. Dalam
tafsir Aisar At-Tafasir Syaikh Abu Bakar, dikatakan bahwa ayat ini memberi
maksud akan kepastian lemahnya manusia untuk membuat satu kalimat yang serupa
dengan surat dalam Al-Qur’an walaupun sudah berlalu 1406 tahun Hijriah.
Kelemahan manusia bahkan hingga detik ini dan akan berlanjut sampai kapanpun. Oleh
karena itu, ayat ini membuktikan bahwa Al-Qur'an benar merupakan wahyu Allah
yang tidak dapat ditandingi oleh siapa pun. Sementara itu, Allah berfirman
dalam Q.S. Fushilat/41:53 yang berarti, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri
hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Atau tiadakah cukup
bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” Di segala
wilayah Bumi, misalnya di langit, al-Qur’an menyebutkan dalam Q.S. Ibrahim ayat
33 bahwa terdapat matahari dan bulan yang terus menerus beredar dalam orbitnya.
Hal tersebut merupakan kebenaran yang dapat dibuktikan dalam sains saat ini.
Selain itu, pada diri mereka sendiri bermakna diri Nabi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya di peristiwa atau kejadian Perang Badar dan penaklukkan kota
suci Mekkah. Allah telah memberikan pertolongan sehingga Nabi Muhammad dan para
sahabat bisa memenangkan perang tersebut, serta bisa melakukan penaklukan
tersebut. Dengan demikian, al-Qur’an memang wahyu Allah dan benar adanya, dibuktikan
dengan kebesaran dan kekuasaan Allah, baik yang ada di alam semesta maupun
melalui peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.
b. Pembuktian al-Qur’an sebagai wahyu
dari perspektif sains (al-i’jaz al-‘ilmi) tidak bermakna semata bahwa al-Qur’an
mengajarkan teori-teori ilmu pengetahuan secara rinci atau mendorong umat Islam
agar menguasai sainteks. Lebih dari itu, perlu diingat kembali bahwa Islam
bersifat kaffah sehingga sangat wajar, bahkan sudah semestinya, jika
ranah sainteks pun disentuh, termasuk melalui al-Qur’an. Kitab Allah mencakup
segala sesuatunya. Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam
hal ini. Ada yang menyatakan bahwa sudah seharusnya tidak ada bagian atau
problem dasar suatu ilmu pun yang tidak ditunjukkan di dalam al-Qur’an, tetapi
ada pula yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab petunjuk di dunia maupun
di akhirat, bukan ensiklopedi sains, sehingga mencocok-cocokkan al-Qur’an
dengan teori-teori sains yang tidak mapan (selalu berubah-ubah) adalah sangat
mengancam eksistensi al-Qur’an itu sendiri. Namun, tidak dapat dipungkiri ada
bagian al-Qur’an yang dikatakan sesuai dengan teori sains yang ada. Menyikapi
hal tersebut, sebaiknya titik beratnya bukan menjadikan al-Qur’an sebagai
pembukti atau pembenar, melainkan menjadikan hal ini untuk mewujudkan iklim
ilmu pengetahuan. Allah sendiri berfirman dalam Q.S. al-Mujadilah/58:11 yang
artinya “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Al-Qur’an juga
seringkali “bertanya” tentang tidakkah manusia berpikir dan sebagainya.
Hal ini tentu menunjukkan pentingnya berilmu pengetahuan, termasuk dalam hal
sains, karena pengetahuan atau ilmu sangat penting dan sangat membantu dalam
melakukan kebaikan.
[04]
a. Kita tidak bisa mengamalkan
al-Qur’an tanpa sunnah. As-Sunnah adalah penafsiran terhadap penafsiran
terhadap ajaran al-Qur’an yang diimplementasikan melalui perkataan,
perbuatan/tindakan dan persetujuan atas perbuatan orang lain (taqrir)
Rasulullah. Hal ini sesuai dengan Q.S. an-Nisaa’/4:59 yang berarti, “Hai
orang-orang yang beriman, tha’atilah Allah dan tha’atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Lebih lanjut, terdapat tiga macam
kedudukan hukum as-Sunnah dalam al-Qur’an: sebagai sumber hukum Islam yang
kedua setelah al-Qur’an dan berfungsi untuk menjelaskan keumuman, sebagai
penjelas pada ayat yang telah dijelaskan al-Qur’an yang belum ada ketentuannya
dalam al-Qur’an dan masih global, serta bayân almujmal, bayân taqyîd
al-muthlaq, bayân al-takhshish al-‘âm, dan bayân tawdhîh al-musykil;
b. Yang saya ketahui tentang UU
Cipta Kerja yang dianggap kontroversial itu adalah UU tersebut ditujukan untuk
mempermudah investasi yang diharapkan mampu meningkatkan perekonomian negara.
Namun, proses pembentukannya dirasa terlalu terburu-buru, tidak urgen, tidak
transparan, dan tidak sesuai dengan prosedur, alias cacat secara konsep dan
formil. Secara substansi pun, ada juga yang dirasa merugikan para pekerja serta
membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan secara umum. Dilihat dari sisi
dalil hukum mashalih mursalah (kemaslahatan), seharusnya rakyat menyuarakan
protes dan kritiknya jika memang mereka tidak menyetujui UU tersebut dengan
memperhatikan beberapa aspek. Pertama, demonstrasi digunakan untuk menolong
agama Allah. Misal, dengan menolaknya, diharapkan kerugian dan bahaya yang
dikhawatirkan tidak perlu terjadi sehingga aktivitas masyarakat Indonesia ke
depannya tidak akan terganggu, di mana sebagian besar masyarakat Indonesia
adalah muslim yang seyogianya beribadah melalui aktivitas-aktivitasnya. Namun,
jika demonstrasi membawa kemungkaran yang lebih banyak, misalnya terjadinya
ikhtilath, keluarnya umpatan dan kata keji, menjadi bentuk melawan pemimpin,
kemudian berdampak negatif melalui turunnya harga barang, rusaknya fasilitas
sosial, dan jatuhnya korban jiwa, tentu sebaiknya dihindari. Allah sendiri
berfirman dalam Q.S. an-Nisaa/4:29 yang berati, “Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Jika hal itu yang
terjadi—demonstrasi memberikan lebih banyak maslahat—maka yang dapat
dilakukan oleh rakyat, khususnya umat muslim adalah bersabar dan memohon
pertolongan kepada Allah sebagaimana arti Q.S. al-Anfaal/8:9, “(Ingatlah),
ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.
Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu
malaikat yang datang berturut-turut.” Umat muslim juga harus berprasangka baik
bahwa UU Cipta Kerja ini memang akan membantu perekonomian Indonesia. Namun,
ada tindakan lain yang bisa diusahakan untuk mengatasi maslahat dari UU Cipta
Kerja selain demonstrasi, misalnya mengajukan judicial review atau review
lainnya yang lebih mengedepankan intelek dan diskusi dalam membahas
permasalahan yang ada.
[05]
a. Shalat dapat menjadi “alat” yang
bisa diandalkan untuk membangun karakter yang baik karena shalat sejatinya
memiliki basis sistem manajemen diri yang efektif dengan intensitas rutinitas
dan substansi kegiatan yang sangat kuat. Shalat membentuk manusia menjadi
disiplin, tepat waktu, termotivasi, fokus, ikhlas, dan kooperatif, khususnya
jika berjamaah. Dalam Q.S. al-‘Ankabut/29:45 pun disebutkan bahwa sesungguhnya
sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Sementara itu, haji juga dapat
membangun karakter karena haji yang seharusnya (haji mabrur) memiliki karakter,
di antaranya, berusaha tidak mengulangi maksiat, berusaha tidak melakukan dosa,
dan tampil sebagai pribadi yang terbaik. Teknis haji sendiri membantu seseorang
untuk menjadi tertib dan dapat menahan diri. Namun, jika ibadah seperti shalat
dan haji hanya bertumpu kepada simbol, esensi akan terlupakan dan tidak
tercapai. Salah satu akibatnya adalah karakter-karakter baik yang telah
disebutkan contohnya menjadi tidak terbangun meskipun ibadah terus dilakukan;
b. Cara
mengatur ilmu, amal, niat dan kecocokan dengan contoh Rasulullah dalam
beribadah agar ibadah berbuah pahala:
1. Ilmu harus dihormati dan dipelajari
dengan sungguh-sungguh sebagai modal untuk bertindak. Apalagi, ilmu lebih dulu
daripada amal;
2. Amal dilakukan dengan mengacu pada
apa yang dilakukan oleh Rasulullah sebagai teladan, khususnya amal yang berubah
ibadah mahdhah yang tata caranya telah ditetapkan;
3. Yang paling utama, niat harus
diluruskan hanya untuk Allah.
Konsekuensi logisnya, misal saat berpuasa.
Niat utamanya haruslah berpuasa untuk Allah, tidak boleh digantikan dengan niat
yang lain, misalnya niat diet. Namun, jika ada “niat tambahan” yang tidak
mendominasi seperti niat diet tadi, tidak apa-apa. Niat tersebut terbukti
menjadi tambahan jika ketika setelah beribadah ternyata dietnya tidak berhasil
melalui puasa, dia tidak akan berhenti berpuasa atau tidak merasa kecewa dan
menolak berpuasa lagi. Niat tambahan ini semestinya juga dikembalikan lagi
untuk Allah. Misal, dengan diet, diharapkan tubuh menjadi sehat sehingga dapat
beribadah dengan lebih baik ke depannya.
Niat yang tidak diperbolehkan meskipun tambahan adalah niat karena ingin
dipuji atau sombong. Selain itu, niat memang harus sangat diperhatikan karena
Q.S. al-Isra:18 menyatakan, “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang
(duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang
Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya
neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir,”
Komentar
Posting Komentar